Kota Lama

Kota Lama Semarang: Suasana Eropa Ala Bosjoko Tempo Dulu

Waktu itu saya sedang di Semarang, dan kebetulan nginap di hotel yang nggak jauh dari Kota Lama. Jujur, saya dulu mengira ini cuma kawasan tua biasa—ya tahu sendirilah, bangunan kolonial, jalan berbatu, dan spot foto buat Instagram.

Tapi begitu saya melangkah masuk dari gerbang utamanya… saya langsung ngerasa kayak lagi teleport ke masa lalu. Jalanannya sempit tapi bersih, bangunan-bangunan tua menjulang, dan aroma kopi klasik menyeruak dari gang kecil. Sumpah, rasanya bukan di Indonesia.

Dan sejak momen itu, saya tahu—satu hari nggak akan cukup untuk memahami pesona Kota Lama Semarang.

Sejarah Singkat Kota Lama: Dari Kolonial ke Kreatif

Kota Lama Semarang

Kota Lama dulunya adalah pusat pemerintahan dan perdagangan Belanda pada abad ke-18. Karena posisinya dekat pelabuhan dan Sungai Mberok, kawasan ini berkembang jadi pusat aktivitas ekonomi. Bangunan-bangunan di sini dulu ditempati oleh orang-orang penting: pengusaha, penjajah, bahkan misionaris.

Yang bikin saya kagum, bangunan tua ini bukan hanya dipertahankan, tapi juga dihidupkan kembali. Pemerintah Semarang dan komunitas kreatif benar-benar serius membangun kembali kawasan ini jadi kota sejarah yang hidup, bukan museum mati.

Kamu masih bisa melihat jejak gaya arsitektur Belanda: dinding tebal, jendela tinggi, dan pintu kayu klasik. Ada yang berubah fungsi jadi galeri, kafe, dan coworking space—tapi nuansa lamanya tetap utuh.

Gereja Blenduk: Ikon Wajib di Jantung Kota Lama

Salah satu bangunan yang langsung mencuri perhatian saya adalah Gereja Blenduk. Kubah besarnya ikonik banget—makanya dinamai “Blenduk” (artinya: menggelembung). Gereja ini dibangun tahun 1753 dan masih aktif digunakan sampai sekarang.

Saya masuk ke dalam, dan suasananya langsung hening. Lantainya dari kayu tua, lampu gantung besar menggantung di tengah, dan altar marmer yang anggun. Bau bangunan tuanya justru bikin saya merasa akrab. Tenang.

Saya sempat ngobrol dengan penjaga gereja. Dia bilang, arsitekturnya sengaja dipertahankan tanpa renovasi besar supaya aura sejarahnya tetap terasa. Bahkan kursi dan pintunya masih orisinal dari kayu jati.

Kalau kamu suka travel ke tempat berarsitektur klasik, gereja ini bisa bikin kamu betah duduk diam lama.

Menjelajahi Gang-Gang Penuh Cerita

Saya lalu lanjut menyusuri jalanan batu yang menyambungkan antar gedung. Di tiap sudut, selalu ada yang menarik. Ada mural besar, toko buku bekas, hingga sepeda ontel tua yang dipajang seperti instalasi seni.

Saya mampir ke sebuah galeri seni kecil, dan ternyata itu bekas gudang kopi zaman dulu. Pemiliknya sekarang mengubahnya jadi ruang pamer seniman muda lokal. Katanya, “Kota Lama itu tempat nostalgia dan harapan ketemu.”

Dan saya setuju. Setiap gang kecil di sini seperti cerita tak selesai. Kamu bisa nyasar sedikit, tapi justru nemu kafe kecil yang ngumpet atau toko barang antik yang unik banget.

Wisata Kuliner: Rasa Modern di Balik Dinding Tua

Yang bikin saya betah adalah makanan! Bayangin makan lontong cap go meh atau minum kopi tubruk panas di dalam bangunan yang usianya udah lebih dari 100 tahun.

Saya sempat makan di satu tempat bernama Spiegel Bar & Bistro. Lokasinya di bekas gedung tua bergaya art deco. Dalamnya cozy banget. Dinding bata ekspos, jendela tinggi, dan aroma roti bakar yang menggoda.

Saya pesan kopi hitam dan roti jadoel isi srikaya. Sambil makan, saya lihat ke luar—jalan yang ramai turis, orang naik sepeda, dan sunset menyusup dari sela bangunan.

Kamu juga bisa coba beberapa tempat kuliner ikonik di Kota Lama seperti:

  • Teko Djaran: spesialis teh rempah

  • Lawang Sewu Coffee & Co: tempat ngopi dengan desain industrial

  • Kedai Beringin: menu peranakan yang kuat banget rasa nostalgia-nya

Kegiatan Malam Hari: Romantis dan Adem

Banyak yang kira Kota Lama cuma menarik di siang hari. Tapi justru malamnya lebih magis. Lampu-lampu jalanan dinyalakan, bangunan tua jadi siluet misterius, dan suara musik akustik kadang terdengar dari sudut tertentu.

Saya sempat ikutan tur malam bareng komunitas sejarah lokal. Kami jalan kaki sambil dikasih info menarik soal sejarah, sudut-sudut rahasia, dan kisah kelam masa kolonial. Ternyata banyak kisah penjara bawah tanah dan perdagangan rempah yang dulu mewarnai kawasan bosjoko ini.

Saran saya, jangan buru-buru pulang kalau sudah sore. Tunggu malam datang dan rasakan sensasi “Eropa tempo dulu versi tropis.”

Kota Lama dan Komunitas Kreatif

Saya sempat ngobrol dengan salah satu seniman yang punya studio kecil di Jalan Letjen Suprapto. Namanya Pak Wawan. Beliau bikin lukisan dari material daur ulang dan cerita sejarah Semarang.

“Dulu tempat ini sepi dan banyak bangunan kosong. Tapi sekarang hidup lagi karena anak-anak muda datang bawa karya dan energi,” katanya.

Setiap minggu, ada acara pasar kreatif, pertunjukan seni, sampai pertunjukan musik kecil. Saya pernah datang ke acara musik jazz sore-sore di taman, sambil duduk di kursi rotan tua. Rasanya seperti hidup di kartu pos.

Kalau mau tahu agenda terbaru atau perkembangan revitalisasi Kota Lama, kamu bisa cek website resmi Pemkot Semarang yang update cukup rutin.

Tips dan Panduan Berkunjung

Supaya kamu bisa maksimal menjelajah Kota Lama, berikut beberapa tips dari saya:

  • Datang pagi atau sore untuk cuaca yang nyaman

  • Gunakan sepatu nyaman karena banyak jalanan berbatu

  • Sewa sepeda untuk keliling lebih santai

  • Bawa power bank karena kamu bakal sering ambil foto

  • Hormati bangunan tua—jangan panjat atau coret-coret

  • Coba kuliner lokal, bukan cuma nongkrong di kafe modern

Oh ya, hindari datang saat musim hujan. Jalanan bisa licin dan beberapa tempat outdoor nggak punya atap.

Peninggalan Sejarah atau Warisan Hidup?

Banyak orang menganggap Kota Lama sebagai monumen kolonial. Tapi saya nggak sepenuhnya setuju. Bagi saya, ini bukan sekadar bangunan tua, tapi ruang hidup yang sedang tumbuh dan berevolusi.

Saya lihat anak-anak sekolah duduk di taman sambil diskusi. Seniman jalanan main gitar. Fotografer hunting gambar. Dan pasangan lansia duduk santai minum teh. Semua itu hidup. Dan mereka semua jadi bagian dari cerita baru Kota Lama.

Kota Lama di Tengah Modernisasi

Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjaga Kota Lama tetap otentik, tanpa kalah oleh gentrifikasi. Banyak investor masuk, bangun kafe besar, dan hotel butik. Bagus, tapi juga rawan menggeser warga lokal.

Saya harap ke depan, Kota Lama tetap jadi tempat inklusif: buat yang ingin mengenang masa lalu, membangun masa depan, dan hidup di antara keduanya.

Kalau kita bisa jaga ritme itu, maka Kota Lama akan jadi model kota bersejarah terbaik di Indonesia.

Penutup: Mengapa Saya Akan Kembali

Kota Lama bukan sekadar tempat wisata. Dia adalah ruang waktu. Setiap langkah di gang sempitnya seperti menyusuri bab demi bab sejarah. Dan setiap obrolan di warung kopinya seperti suara masa lalu yang menyapa.

Saya yakin saya akan kembali. Bukan untuk berfoto, tapi untuk duduk, jalan, dan mendengarkan Kota Lama bercerita—lagi dan lagi.

Dari tempat dingin ke tempat panas namun tetap punya keunikan masing-masing: Lodge Maribaya Lembang: Aesthetic Spot Viral Tiap Tahun

Author

More From Author

Ćevapi

Ćevapi: Grilled Minced Meat Sausages

Dongdaemun Design Plaza

Dongdaemun Design Plaza: Ikon Futuristik Bosjoko Seoul