Saya pertama kali dengar nama Lawang Sewu waktu SMP, lewat acara televisi yang bahas tempat angker di Indonesia. Saat itu saya pikir: “Kok bisa bangunan peninggalan Belanda dianggap serem banget, ya?” Tapi karena cuma nonton dari layar, saya nggak terlalu paham.
Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya punya kesempatan ke Semarang. Dan tentu saja, Lawang Sewu langsung masuk dalam daftar kunjungan wajib. Tapi saya nggak cuma pengin lihat sisi mistisnya. Saya juga penasaran sama sejarah dan arsitektur bangunan yang katanya punya seribu pintu itu.
Spoiler sedikit: saya nggak dihantui, tapi saya merasa “diawasi.” Dan saya akan cerita semuanya di sini.
Apa Itu Lawang Sewu?
Lawang Sewu adalah bangunan bersejarah yang terletak di pusat Kota Semarang, tepatnya di Bundaran Tugu Muda. Nama asli “Lawang Sewu” juga berarti “seribu pintu” kalau diartikan dalam bahasa Jawa, merujuk pada banyaknya daun pintu dan adanya jendela besar yang terdapat di bangunan ini.
Bangunan ini dibangun pada 1904 oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai kantor pusat dari Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS)—perusahaan kereta api Hindia Belanda.
Lawang Sewu bukan hanya simbol arsitektur kolonial, tapi juga saksi bisu berbagai fase sejarah: penjajahan, perlawanan, dan kemerdekaan.
Kesan Pertama Saat Saya Tiba di Depan Lawang Sewu
Begitu turun dari mobil dan berdiri di depan gerbang besi besar itu, saya langsung merasa… kecil. Bangunannya tinggi, megah, dan jendelanya luar biasa banyak. Tentu saja tidak benar-benar ada seribu pintu, tapi tetap terasa masif.
Cuaca Semarang saat itu panas banget, tapi begitu masuk ke dalam lorong-lorongnya, udaranya langsung adem. Struktur bangunan ini memang dirancang dengan ventilasi silang alami. Saya langsung terkesan dengan kejeniusan arsitektur tropis ala kolonial yang bisa bikin bangunan tetap nyaman meski tanpa AC.
Tapi yang bikin bulu kuduk merinding justru bukan suhu… melainkan heningnya lorong-lorong panjang dan suara langkah kaki sendiri yang bergema.
Arsitektur: Gaya Eropa yang Adaptif di Tanah Tropis
Bangunan Lawang Sewu dirancang oleh arsitek Belanda bernama Cosman Citroen dari biro arsitek JF Klinkhamer & BJ Quendag. Yang bikin saya kagum adalah bagaimana gaya arsitektur Eropa bisa disesuaikan dengan iklim Indonesia:
-
Jendela tinggi dan pintu besar memungkinkan aliran udara maksimal.
-
Lantai dua memiliki jalur koridor di tengah, yang menciptakan bayangan dan memperkecil panas.
-
Dindingnya tebal, menjaga suhu tetap stabil di dalam ruangan.
-
Kaca patri bergambar dewi dan simbol kereta api jadi elemen artistik sekaligus historis.
Bangunan utama terdiri dari dua lantai dan menara. Saat saya naik ke lantai dua, saya bisa melihat pemandangan Tugu Muda dan kota Semarang dari atas. Rasanya seperti melintasi waktu.
Ruang Bawah Tanah: Antara Fakta dan Kisah Seram
Salah satu area paling “terkenal” dari Lawang Sewu adalah ruang bawah tanah. Banyak cerita beredar bahwa di sinilah tentara Jepang menyiksa tahanan, bahkan ada yang dibunuh di sana.
Saya sempat bertanya pada pemandu, “Apakah ini benar?” Dia menjawab dengan nada diplomatis, “Kami menghormati sejarah di sini. Tapi banyak juga cerita yang berkembang lebih dari apa yang dicatat.”
Saya nggak berani turun sendiri. Tapi dari dokumentasi sejarah, memang diketahui bahwa bangunan ini sempat dijadikan markas tentara Jepang selama pendudukan. Ada penjara berdiri di bawah tanah, lengkap dengan tempat penyiksaan. Sebagian area ini sekarang sudah ditutup demi keamanan dan konservasi.
Mau mistis atau tidak, fakta sejarahnya sudah cukup bikin merinding.
Kisah Mistis yang Tak Bisa Dipisahkan
Saya bukan orang yang mudah percaya hal mistis, tapi Lawang Sewu memang punya aura yang “bercerita.” Bahkan sebelum masuk, beberapa teman saya sudah berpesan:
“Kalau tiba-tiba kamera kamu mati atau ada bayangan lewat, biasa aja ya.”
Beberapa kisah populer yang saya dengar dari pengunjung dan pemandu lokal:
-
Sosok noni Belanda muncul di lorong kaca patri
-
Bayangan tentara Jepang berjalan cepat di selasar
-
Suara langkah kaki padahal sedang sendirian
-
Kamera yang mendadak error saat memotret sudut tertentu
Saya sendiri tidak melihat apa-apa. Tapi jujur, waktu berdiri sendirian di salah satu lorong, saya merasa seperti ada yang “mengawasi” dari jauh. Bukan menyeramkan, tapi membuat tidak nyaman. Seperti sedang menyeberang ke wilayah yang bukan milik kita.
Lawang Sewu dan Sejarah Perjuangan
Yang banyak orang lupa: Lawang Sewu bukan hanya tempat travel angker. Tapi juga tempat penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1945, tepat setelah proklamasi, terjadi Pertempuran Lima Hari di Semarang antara pemuda Indonesia melawan tentara Jepang. Lawang Sewu jadi salah satu titik pertempuran sengit. Banyak pejuang gugur di area ini.
Bahkan sekarang, ada monumen peringatan kecil di sisi belakang gedung, menghormati para pejuang yang gugur.
Saya berdiri cukup lama di depan monumen itu. Dari suasana megah, mistis, hingga heroik… tempat ini benar-benar menyimpan banyak lapisan sejarah.
Renovasi dan Fungsi Baru Lawang Sewu
Saya senang karena PT KAI (sebagai pemilik) melakukan renovasi besar pada tahun 2011. Bangunan ini tidak dibiarkan rusak, tapi dijadikan museum dan pusat edukasi sejarah perkeretaapian Indonesia.
Beberapa ruangan diisi dengan:
-
Diorama sejarah NIS
-
Koleksi foto-foto zaman Belanda
-
Miniatur kereta api
-
Video dokumenter sejarah Lawang Sewu
Informasi ini juga dapat kamu lihat di KAI Wisata, lengkap dengan jadwal kunjungan dan harga tiket.
Dengan renovasi ini, Lawang Sewu menjadi lebih ramah wisatawan, tanpa kehilangan aura klasiknya.
Tips Kunjungan dari Saya
Berdasarkan pengalaman pribadi, berikut beberapa tips penting jika kamu ingin mengunjungi Lawang Sewu:
-
Datang pagi atau sore: lebih adem, pencahayaan bagus untuk foto
-
Ikuti tur dengan pemandu: supaya lebih paham sejarahnya
-
Gunakan kamera dengan cahaya bagus: beberapa area gelap
-
Bersikap sopan: ingat, ini bukan hanya objek wisata tapi juga tempat sakral bagi sebagian orang
-
Hindari bercanda soal mistis secara berlebihan: hormati kisah dan energi tempat
Dan jangan lupa, siapkan mental buat eksplorasi ruang bawah tanah—kalau berani!
Apa Lawang Sewu Akan Saya Kunjungi Lagi?
Tanpa ragu, iya. Karena saya merasa sekali datang belum cukup. Bangunan ini bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk dipahami. Setiap lorongnya seperti mengajak kita menelusuri fragmen waktu: dari kolonialisme, perang, hingga kemerdekaan.
Saya pikir, tempat seperti Lawang Sewu perlu terus dirawat dan diceritakan. Bukan cuma sebagai objek foto Instagram, tapi sebagai pengingat sejarah dan identitas bangsa.
Jalan-jalan lihat hewan dari dekat sambil berwisata cuma di: Taman Safari Puncak: Lihat Satwa dari Mobil Sendiri