Pernahkah kamu merasa sedang dipeluk alam dan arsitektur sekaligus?
Saya merasakannya ketika berdiri tepat di bawah bayang-bayang Christ the Redeemer—patung Yesus yang berdiri anggun di puncak Gunung Corcovado, Rio de Janeiro, Brasil. Angin laut bertiup pelan. Burung camar melintas seperti mengawal suasana sakral. Dan di hadapan saya, patung raksasa setinggi 30 meter itu membuka tangan, seolah berkata: “Selamat datang di pelukanku.”
Sebagai seorang pembawa berita perjalanan dan penggemar sejarah, saya tidak hanya melihatnya sebagai objek wisata. Saya melihat Christ the Redeemer sebagai representasi kuat dari iman, seni, dan semangat kolektif suatu bangsa.
Mungkin kamu mengenalnya dari kartu pos, film “Fast Five”, atau postingan influencer di Instagram. Tapi percayalah, tidak ada yang bisa menyaingi perasaan saat kamu benar-benar berdiri di sana. Lalu, siapa sangka di balik megahnya sosok ini, tersimpan cerita drama politik, desain Perancis, dan hujan badai tropis?
Dari Gagasan Gila ke Mahakarya Dunia Christ the Redeemer
Tahukah kamu bahwa ide membangun patung raksasa ini muncul dari… seorang imam Katolik lokal?
Yup. Tahun 1920-an, ketika Brasil masih bergulat dengan identitas nasionalnya pasca pemisahan gereja dan negara, sekelompok umat Katolik di Rio mengusulkan pembangunan patung Yesus sebagai simbol perdamaian dan harapan.
Seorang insinyur Brasil bernama Heitor da Silva Costa memenangkan sayembara desain. Namun, bukan dia yang membuat sketsa wajah patung itu. Wajah ikonik Christ the Redeemer justru digambar oleh seniman Perancis, Paul Landowski. Patung ini kemudian dibangun dengan bantuan pemahat asal Romania, Gheorghe Leonida, yang bertanggung jawab atas ekspresi wajah yang damai tapi kokoh.
Pembangunannya memakan waktu 9 tahun (1922–1931). Bayangkan membangun raksasa di puncak gunung tanpa teknologi crane modern seperti sekarang. Bahkan bahan bangunannya—batu sabun dan beton bertulang—harus diangkut menggunakan kereta khusus dan tenaga manusia. Kalau kamu pikir memindahkan sofa ke lantai tiga itu melelahkan, pikirkan ini.
Yang bikin saya kagum adalah bagaimana proyek ini dibiayai: donasi publik. Warga Rio dari berbagai kelas sosial ikut menyumbang, dari pengusaha kaya hingga ibu rumah tangga di favela. Mereka percaya, patung ini bukan cuma milik gereja—ini adalah milik mereka semua.
Bukan Sekadar Spot Selfie—Ini Tempat Spiritual
Mari jujur: sebagian besar turis datang ke Christ the Redeemer untuk foto Instagramable. Dan ya, pemandangan dari atas Gunung Corcovado memang gila banget—kamu bisa melihat pantai Copacabana, teluk Guanabara, stadion Maracanã, sampai ujung kota yang dipenuhi bukit.
Tapi di balik lensa kamera dan kerumunan turis, tempat ini menyimpan atmosfer spiritual yang sulit dijelaskan.
Saya bertemu seorang backpacker dari Italia, Luca, yang mengaku sempat menangis diam-diam di bawah patung. “Bukan karena saya Katolik,” katanya. “Tapi karena saya merasa kecil dan dilindungi pada saat yang sama.”
Ruang kecil di kaki patung sebenarnya adalah kapel. Banyak orang tak sadar, karena sibuk mengejar sunset terbaik. Tapi tiap Oktober, diadakan misa terbuka di sini untuk memperingati ulang tahun patung ini. Rasanya seperti menghadiri konser rohani di langit.
Selain itu, menurut warga lokal, banyak pasangan yang datang ke sini untuk lamaran. Bukan hanya karena pemandangannya romantis, tapi karena mereka percaya cinta yang dimulai “di bawah pelukan Yesus” akan langgeng. Aww.
Mitos, Fakta, dan Cuaca yang Tak Bisa Diprediksi
Mungkin kamu berpikir, “Ah, patung doang. Gampanglah pergi ke sana.”
Well… tidak sesimpel itu.
Menuju ke puncak Gunung Corcovado butuh perjuangan. Ada kereta kecil (Trem do Corcovado) yang menanjak melalui hutan Tijuca selama 20–25 menit, atau kamu bisa naik van resmi dari berbagai titik di kota. Tapi cuaca? Bisa berubah dalam hitungan menit.
Banyak orang kecewa karena saat tiba di atas, semuanya diselimuti kabut tebal. Pemandangan? Nggak kelihatan apa-apa. Tips dari saya: cek prakiraan cuaca, datang pagi, dan siapin kamera anti air.
Oh, dan soal petir—ya, patung ini sering disambar! Pada 2014, jari tengah tangan kanan patung rusak karena sambaran petir. Meski sudah dipasang penangkal petir, karena posisinya yang tinggi dan terbuka, sambaran tetap sering terjadi. Tapi tenang, tidak membahayakan pengunjung karena ada sistem grounding canggih.
Fakta menarik lainnya: Christ the Redeemer sempat masuk dalam daftar New Seven Wonders of the World versi New7Wonders Foundation tahun 2007. Jadi bukan hanya ikon nasional Brasil, tapi juga kebanggaan dunia.
Tips Jitu untuk Menikmati Christ the Redeemer
Oke, sekarang bagian praktisnya. Kalau kamu berencana mengunjungi Rio de Janeiro dan Christ the Redeemer masuk dalam bucket list kamu (dan harusnya sih gitu), simak tips jitu ini:
1. Datang Lebih Pagi
Serius. Semakin siang, semakin ramai. Pagi hari (sekitar jam 8–9) adalah waktu terbaik untuk dapat cahaya yang lembut dan suasana relatif sepi.
2. Beli Tiket Online
Hindari antrean panjang dengan memesan tiket Trem do Corcovado atau van shuttle secara online. Beberapa hotel juga menyediakan layanan antar langsung ke titik keberangkatan.
3. Gunakan Sepatu Nyaman
Meski tempatnya tidak terlalu luas, kamu akan banyak jalan, apalagi kalau eksplor hutan Tijuca sebelum atau sesudahnya.
4. Bawa Jaket Tipis
Di atas gunung, suhu bisa lebih dingin dan berangin. Jaket tipis atau windbreaker bisa menyelamatkanmu dari dingin mendadak.
5. Nikmati Momen
Ini klise, tapi penting. Jangan cuma sibuk ambil foto. Diamlah sejenak. Rasakan angin. Pandangi lanskap. Dan biarkan dirimu terpesona oleh kebesaran alam dan karya manusia yang menyatu dalam keindahan.
Penutup: Lebih dari Ikon, Ini Simbol Harapan
Christ the Redeemer bukan hanya tentang batu dan beton. Ia adalah simbol. Tentang pengampunan. Tentang keberanian kolektif sebuah bangsa untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Tentang harapan yang terbuka luas, seperti tangan Yesus yang membentang tanpa menghakimi.
Apakah kamu religius atau tidak, kunjungan ke tempat ini akan menyentuh bagian terdalam dari dirimu. Ini bukan hanya tentang apa yang kamu lihat, tapi tentang bagaimana kamu merasa.
Dan itu—kalau boleh saya bilang—adalah inti dari setiap perjalanan sejati.
Baca Juga Artikel dari: Pantai Sadranan: Liburan Seru ala Latoto
Baca Juga Konten dengan Artikel terkait Tentang: Travel