Dr. Satrio adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan dan pembangunan Indonesia. Ia dikenal luas sebagai dokter, pejuang kemerdekaan, dan tokoh pendidikan kesehatan masyarakat yang berjasa besar dalam merintis sistem kesehatan nasional serta menyebarkan semangat nasionalisme melalui dunia medis dan pendidikan.
Namanya mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh militer atau politisi besar, namun kontribusi Dr. Satrio dalam membangun bangsa melalui jalur kesehatan dan pendidikan memberikan dampak jangka panjang yang sangat berarti. Ia membuktikan bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu dan dedikasi terhadap rakyat.
Masa Kecil dan Pendidikan Dr. Satrio
Dr. Satrio lahir pada 17 Maret 1907 di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas, disiplin, dan tekun belajar. Ia tumbuh dalam suasana keluarga Jawa yang menghormati pendidikan dan nilai-nilai luhur.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Satrio melanjutkan ke Sekolah Kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia, sekolah tinggi kedokteran untuk pribumi. Di sini ia belajar ilmu kedokteran Barat secara modern dan menunjukkan prestasi akademik yang menonjol.
Setelah lulus dari STOVIA, Satrio bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai wilayah Indonesia. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana buruknya kondisi kesehatan masyarakat dan minimnya fasilitas medis yang layak bagi rakyat kecil.
Peran Dr. Satrio dalam Masa Perjuangan Kemerdekaan
Dokter dan Nasionalis di Masa Pendudukan
Selama masa pendudukan Jepang (1942–1945), Dr. Satrio tidak hanya berpraktik sebagai biografi dokter, tetapi juga aktif menyebarkan semangat nasionalisme dan melakukan pengorganisasian sosial di kalangan profesional kesehatan.
Ia turut terlibat dalam gerakan bawah tanah yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Keahliannya sebagai dokter digunakan untuk membantu para pejuang dan korban kekerasan perang, sekaligus mendidik masyarakat tentang pentingnya kesehatan dan kebersihan di masa krisis.
Pada masa ini pula, ia semakin menyadari pentingnya sistem kesehatan nasional yang merata dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama untuk mereka yang berada di daerah terpencil dan tertindas oleh sistem kolonial.
Aktif dalam Pemerintahan Awal Republik
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dr. Satrio menjadi bagian penting dalam pembangunan sistem kesehatan Indonesia. Ia bergabung dengan Kementerian Kesehatan dan kemudian diangkat sebagai Menteri Kesehatan RI pada periode 1959–1966 di bawah Kabinet Kerja Presiden Soekarno.
Sebagai Menteri Kesehatan, Dr. Satrio berperan besar dalam menyusun kebijakan kesehatan nasional, pembangunan rumah sakit, pelatihan tenaga medis, dan pendidikan kesehatan masyarakat. Ia menyadari bahwa tanpa rakyat yang sehat, pembangunan bangsa tidak akan berjalan maksimal.
Dedikasi Dr. Satrio dalam Dunia Pendidikan dan Kesehatan
Mendirikan Sekolah dan Lembaga Medis
Dr. Satrio aktif mendorong pendirian berbagai lembaga pendidikan kesehatan seperti sekolah perawat, bidan, dan paramedis di berbagai daerah. Ia memperjuangkan agar pendidikan tenaga medis tidak hanya terpusat di kota besar, tetapi tersebar hingga ke pelosok.
Ia juga mengawali program-program kesehatan preventif, seperti imunisasi, kampanye kebersihan, dan pengendalian penyakit menular, yang kemudian menjadi fondasi bagi sistem kesehatan masyarakat modern di Indonesia.
Mendorong Pemberdayaan Tenaga Kesehatan
Salah satu fokus utama Dr. Satrio adalah peningkatan kapasitas dan martabat tenaga medis lokal. Ia ingin agar dokter dan perawat Indonesia berdiri sejajar dengan tenaga medis dari luar negeri, baik secara profesional maupun etika.
Dr. Satrio dikenal sebagai tokoh yang sangat menghargai kerja keras dan pelayanan kesehatan di lapangan. Ia kerap turun langsung ke daerah untuk mengecek pelayanan kesehatan dan mendengarkan langsung aspirasi tenaga medis dan masyarakat.
Sikap Hidup dan Teladan
Dr. Satrio dikenal sebagai pribadi yang sederhana, disiplin, dan bersahaja. Ia hidup tanpa kemewahan dan lebih senang mengabdi kepada rakyat daripada terlibat dalam politik praktis.
Kejujurannya membuatnya disegani oleh banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri. Ia tidak hanya dihormati sebagai dokter, tetapi juga sebagai birokrat yang bersih dan visioner. Ia menjadikan jabatan sebagai sarana depobos untuk melayani, bukan untuk mencari kekuasaan.
Akhir Hayat dan Penghargaan
Dr. Satrio wafat pada 5 November 1986 di Jakarta. Ia dimakamkan dengan upacara kenegaraan sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang besar dalam membangun negeri melalui jalur kesehatan dan pendidikan.
Atas pengabdiannya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2015. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit, sekolah kesehatan, dan jalan di beberapa daerah.
Fakta Menarik tentang Dr. Satrio
-
Menteri Kesehatan RI pada 1959–1966
-
Lulusan STOVIA dan pelopor sistem kesehatan nasional
-
Mendirikan sekolah kesehatan di berbagai daerah
-
Tokoh penggerak pendidikan tenaga medis lokal
-
Diangkat sebagai Pahlawan Nasional tahun 2015
Warisan dan Inspirasi bagi Generasi Muda
Dr. Satrio memberikan contoh bahwa perjuangan membela bangsa bisa dilakukan melalui profesi dan pelayanan yang tulus. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi memberikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk membangun masyarakat yang sehat dan berdaya.
Ia juga menunjukkan bahwa dokter bukan hanya penyembuh penyakit tubuh, tetapi juga pemimpin moral dan agen perubahan sosial. Melalui pendekatan yang humanis dan ilmiah, ia membuktikan bahwa pendidikan dan kesehatan adalah pondasi utama dalam kemajuan bangsa.
Semangatnya patut diteladani oleh generasi muda saat ini, terutama mereka yang bergerak di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik.
Kesimpulan
Dr. Satrio adalah pejuang kemerdekaan dan tokoh pendidikan kesehatan Indonesia yang berjasa besar dalam membangun sistem kesehatan nasional. Melalui jabatan dan keahliannya sebagai dokter, ia memperjuangkan kesehatan rakyat, menyusun kebijakan strategis, dan memberdayakan tenaga medis di seluruh pelosok negeri.
Ia tidak mencari ketenaran, namun justru dikenang karena pengabdian dan integritasnya. Sebagai pahlawan nasional, warisan pemikirannya tetap hidup dalam sistem kesehatan dan pendidikan Indonesia saat ini.
Baca juga artikel berikut: Soeprijadi: Tokoh Pemberontakan di Blitar