Chefchaouen

Chefchaouen: Kota Biru yang Indah Seperti Negeri Dongeng

Saya harus jujur, pertama kali dengar nama Chefchaouen, saya bahkan nggak bisa mengejanya dengan benar. Apalagi melafalkannya. Tapi setelah lihat foto-fotonya di Pinterest—jalan sempit penuh anak tangga berlapis cat biru pastel, rumah mungil dengan pintu melengkung ala Timur Tengah—saya langsung jatuh cinta. Dalam hati saya bilang, “Ini beneran tempat nyata? Atau set film Disney?”

Ternyata Chefchaouen itu kota kecil yang terletak di Pegunungan Rif, Maroko. Populasinya nggak sampai 50.000, tapi hampir semua sudut kotanya dicat dalam nuansa biru. Dan saya akhirnya punya kesempatan ke sana saat backpacking ke Maroko tahun lalu. Rasanya? Jauh lebih magis daripada yang saya bayangkan.

Kota Biru yang Bukan Sekadar Gimmick

Chefchaouen

Biru di Chefchaouen itu bukan sekadar cat biasa. Ini filosofi. Ada banyak versi cerita soal kenapa kota ini dicat biru.

Beberapa bilang warna biru melambangkan surga dalam tradisi Yahudi. Komunitas Yahudi Sephardic yang melarikan diri ke Maroko pada abad ke-15-lah yang pertama kali mewarnai dinding-dinding kota ini. Ada juga yang bilang biru bikin nyamuk ogah datang karena dianggap menyerupai air mengalir.

Yang jelas, biru ini bukan cuma estetika. Dia jadi identitas kota. Warga lokal mengecat ulang dinding mereka secara rutin. Saya sempat ngobrol sama salah satu pemilik riad (penginapan khas Maroko), dan dia cerita bahwa pengecatan ulang dilakukan dua kali setahun. Bahkan mereka punya warna khusus “Chefchaouen Blue” yang hanya bisa dibeli di toko-toko cat lokal.

Menyusuri Lorong-Lorong Sempit Seperti Jalanan Mimpi

Begitu saya masuk ke medina (kota tua) Chefchaouen, rasanya kayak masuk ke buku cerita anak. Jalanan sempit, tangga-tangga kecil yang naik turun, jendela-jendela dengan teralis besi artistik, dan pot bunga warna-warni tergantung di dinding biru. Setiap langkah terasa seperti potongan postcard hidup.

Saya bawa kamera mirrorless dan jujur aja, di kota ini saya foto lebih dari 700 kali dalam dua hari. Hampir semua sudutnya layak jadi wallpaper. Anak-anak kecil main bola di gang, kakek-kakek duduk sambil minum teh mint, kucing tidur di ambang pintu—semuanya begitu autentik dan damai.

Penginapan dengan Rasa Rumah

Salah satu hal terbaik dari Chefchaouen adalah penginapannya. Bukan hotel besar, tapi riad, rumah tradisional Maroko yang diubah jadi penginapan. Saya tinggal di sebuah riad kecil dengan halaman tengah yang dihiasi air mancur dan kursi-kursi warna biru. Atapnya bisa diakses, dan dari sana saya bisa lihat sunset di balik pegunungan.

Setiap pagi saya disuguhi sarapan khas: roti pipih hangat, keju kambing, selai zaitun, dan tentu saja—teh mint. Rasanya sederhana, tapi nikmat luar biasa. Apalagi dengan udara segar dan aroma bunga melati yang melayang-layang.

Belanja Kerajinan Lokal yang Nggak Biasa

Saya biasanya nggak terlalu suka belanja saat travel. Tapi di Chefchaouen, saya nyaris borong satu tas penuh. Di sepanjang gang medina, ada ratusan toko kecil yang menjual karpet tenun tangan, sandal kulit, lampu logam berlubang-lubang, sampai sabun alami dari minyak argan.

Yang paling menarik buat saya adalah tekstil tenunan suku Berber. Warna-warnanya terang dan motifnya unik banget. Saya beli satu syal wol sebagai oleh-oleh, dan sampai sekarang masih jadi favorit di lemari saya.

Harga di sini juga lebih murah dibanding Marrakesh atau Fez. Dan penjualnya nggak terlalu agresif. Mereka justru senang ngobrol santai sebelum nawar harga. Saya belajar beberapa kata dalam bahasa Darija (dialek Arab Maroko), dan mereka langsung tersenyum lebar saat saya bilang, “Shukran bzaf!” (Terima kasih banyak!).

Hiking ke Air Terjun Ras El Ma

Buat kamu yang suka alam, Chefchaouen juga punya kejutan. Sekitar 20 menit jalan kaki dari pusat kota, ada air terjun kecil bernama Ras El Ma. Jalurnya menanjak sedikit, tapi mudah diakses. Di sepanjang jalan, kamu bisa lihat pemandangan kota biru dari atas—benar-benar fotogenik!

Air terjunnya bukan yang spektakuler, tapi segar banget. Banyak warga lokal mandi atau sekadar mencuci karpet di sana. Ada juga warung-warung kecil yang jual jus jeruk segar, dan saya duduk lama sambil merendam kaki di aliran air. Rasanya damai banget.

Saat Malam Tiba, Chefchaouen Jadi Lebih Magis

Kalau siang Chefchaouen itu seperti dongeng, maka malamnya seperti mimpi. Lampu-lampu kuning redup menyinari dinding biru, dan langit penuh bintang karena nyaris nggak ada polusi cahaya.

Saya naik ke rooftop riad tempat saya menginap, dan dari sana terlihat siluet bukit dan menara masjid tua. Suara azan melantun lembut, dan udara gunung mulai turun menusuk dingin. Saya bungkus badan pakai selimut dan duduk diam selama hampir satu jam. Nggak ngapa-ngapain. Hanya diam. Rasanya seperti meditasi spontan.

Warga Lokal yang Ramah dan Bersahabat

Interaksi saya dengan warga Chefchaouen sangat menyenangkan. Mereka nggak terlalu agresif seperti di kota besar, tapi tetap terbuka. Saya pernah nyasar saat nyari warung makan, dan seorang bapak tua menunjukkan jalan sambil cerita soal masa mudanya bekerja di Casablanca.

Anak-anak di sana suka ngajak main, dan mereka sangat excited lihat kamera. Saya sempat diajak masuk ke rumah seorang penenun, dan ditunjukkan cara kerja alat tenun tradisional. Meski bahasa kami terbatas, tapi senyuman dan gerakan tangan cukup untuk membangun koneksi.

Masakan Khas Chefchaouen: Sederhana tapi Lezat

Makanan di sini itu comfort food banget. Tagine daging kambing dengan plum dan almond jadi favorit saya. Rasanya manis gurih dan dimasak dalam wadah tanah liat yang disebut tagine.

Ada juga couscous sayur yang penuh rempah, dan roti bundar hangat yang selalu tersedia di setiap meja makan. Teh mint manis jadi minuman wajib. Saya minum sampai lima kali sehari, dan tetap nggak bosan!

Yang paling berkesan? Saya makan malam di sebuah warung kecil dekat medina. Pemiliknya, seorang ibu setengah baya, masak langsung di dapur terbuka. Saya makan sambil lihat dia ngobrol sama anak-anaknya. Suasana hangat yang nggak tergantikan.

Tips Buat Kamu yang Mau ke Chefchaouen

Buat kamu yang lagi bikin itinerary ke Maroko, pastikan Chefchaouen masuk dalam daftar! Ini beberapa tips dari pengalaman saya:

  • Datang di musim semi atau awal musim gugur. Cuaca adem, bunga-bunga bermekaran.

  • Gunakan sepatu nyaman. Jalanan berbatu dan bertangga.

  • Sediakan waktu minimal 2 malam. Jangan buru-buru. Kota ini dinikmati dengan santai.

  • Bawa power bank dan kamera. Karena kamu bakal foto terus.

  • Pelajari beberapa kata dasar Arab atau Prancis. Warga lokal akan sangat menghargai.

Menuju Chefchaouen: Perjalanan Tak Terlupakan

Dari Fez, saya naik bus CTM sekitar 4 jam. Pemandangannya luar biasa—melewati lembah, perbukitan, dan desa-desa kecil. Saat bus mulai menanjak ke Pegunungan Rif, saya sempat terdiam. Perjalanan itu sendiri sudah jadi pengalaman yang nggak kalah menarik dari tujuan akhirnya.

Alternatif lain bisa juga dari Tangier atau Tetouan. Banyak turis gabungkan perjalanan ini dengan rute pantai utara Maroko.

Kota Biru yang Menyentuh Hati

Chefchaouen bukan hanya kota cantik untuk difoto. Ia punya jiwa. Setiap gangnya, aroma rotinya, senyum warganya—semuanya menyatu jadi pengalaman yang melekat lama di hati.

Saya pernah ke banyak kota di dunia, tapi hanya sedikit yang bisa bikin saya merasa “ingin kembali lagi”. Chefchaouen ada di daftar itu. Bukan karena saya belum puas foto-foto, tapi karena kota ini punya energi yang membuat saya merasa damai. Seperti pulang ke tempat yang belum pernah saya tinggali.

Dan buat kamu yang suka destinasi estetis, tenang, damai, dan penuh warna—Chefchaouen mungkin adalah jawaban yang selama ini kamu cari.

Chefchaouen dan Masa Depan Pariwisata Berkelanjutan

Tentu, ada kekhawatiran soal makin banyaknya turis. Beberapa warga lokal bilang, “Sekarang banyak orang datang hanya untuk selfie, lalu pergi.” Itu membuat mereka ingin agar pariwisata diatur lebih baik.

Untungnya, pemerintah Maroko dan lembaga seperti UNESCO mulai mengembangkan pendekatan pariwisata berkelanjutan, termasuk pelestarian budaya dan arsitektur lokal.

Kita sebagai wisatawan juga harus ambil bagian. Hormati lingkungan, beli dari pelaku lokal, dan hargai kehidupan warga. Jangan cuma datang untuk konten Instagram, tapi nikmati dan pahami kotanya.

Yang lokal pride juga ga kalah indah nya nih: Tebing Keraton: Spot Sunrise Bandung Favorit Pendaki Depobos

Author

More From Author

Lithuanian Cepelinai

Lithuanian Cepelinai: Potato depobos Dumplings Stuffed with Meat

Romanian Mămăligă

Romanian Mămăligă: Cornmeal Porridge, a Staple Side