Adat Ratenggaro

Adat Ratenggaro: Napak Tilas Peradaban Megalitikum di Sumba

Jakarta, decology.com – Di ujung barat Pulau Sumba, tepatnya di Kecamatan Kodi, berdirilah sebuah desa yang tampak seperti potongan masa lalu yang entah kenapa masih utuh di masa kini. Namanya Adat Ratenggaro, gabungan dari dua kata: Rate (batu nisan) dan Garo (nama suku). Nama ini bukan sembarang label, melainkan penanda penting bahwa desa ini adalah tempat peristirahatan terakhir sekaligus rumah hidup bagi suku-suku leluhur yang pernah berjaya.

Kalau kamu datang ke sini sebagai turis, mungkin kesan pertama adalah “wah, ini Instagramable banget.” Tapi lebih dari sekadar lanskap visual, Ratenggaro menyimpan warisan budaya yang jauh lebih dalam. Ia bukan museum terbuka—tapi desa adat yang hidup, tempat orang-orang masih menjalankan tradisi seperti 200 atau bahkan 500 tahun lalu. Salah satu yang paling mencolok tentu rumah adat beratap tinggi yang disebut Uma Kelada, menjulang hingga 15 meter. Atapnya seperti tombak yang menantang langit, dengan struktur bambu dan alang-alang yang dikepang sedemikian rupa.

Saya ingat obrolan dengan Ama Laba, seorang tetua adat yang kami temui saat senja. Ia bilang, “Kami bukan menolak modern, tapi kami tahu apa yang perlu dijaga.” Kalimat itu terus membekas. Karena memang, Ratenggaro tidak terjebak romantisme masa lalu, tapi memilih untuk menghormatinya.

Mengenal Tradisi Adat Ratenggaro: Lebih dari Sekadar Upacara dan Tarian

Adat Ratenggaro

Adat Ratenggaro bukan cuma soal tarian perang atau ritual panen. Ini adalah sistem sosial yang menyatu dengan alam, waktu, dan nilai hidup masyarakatnya. Salah satu praktik paling ikonik adalah penguburan megalitikum—ya, pemakaman dengan batu nisan raksasa yang ditata secara monumental. Bukan untuk pamer, tapi sebagai bentuk penghormatan tertinggi.

Setiap batu nisan di Ratenggaro memiliki ukiran dan posisi simbolik. Batu berbentuk datar dengan rongga di tengah biasanya jadi penanda untuk kepala suku atau tokoh penting. Ukiran di permukaannya pun bukan hiasan semata, melainkan narasi hidup orang yang dikubur di bawahnya.

Selain itu, ada juga Pasola, meskipun tidak spesifik hanya di Ratenggaro, tetapi semangatnya masih terasa di sana. Ini adalah pertarungan simbolik antara dua kelompok penunggang kuda yang melemparkan lembing kayu, biasanya untuk merayakan musim tanam dan bentuk penghormatan pada leluhur. Meski ajang ini kini diatur ketat agar tidak memakan korban, darah yang tumpah dalam versi tradisionalnya dulu dipercaya sebagai “pupuk” bagi tanah.

Yang juga menarik adalah konsep Marapu, kepercayaan asli masyarakat Sumba yang masih kuat dipegang. Dalam Marapu, hidup dan mati bukanlah dua dunia terpisah, melainkan siklus yang terus terhubung. Karena itu, setiap tindakan manusia—termasuk menebang pohon, membangun rumah, atau menggelar perayaan—selalu dimulai dengan permisi pada leluhur.

Rumah Adat Uma Kelada: Arsitektur Sakral yang Punya Aturan Sosial Sendiri

Bisa dibilang, jantung dari Adat Ratenggaro adalah rumah adatnya. Uma Kelada, begitu masyarakat menyebutnya, bukan cuma tempat tinggal. Ia adalah simbol hierarki, tempat ibadah, gudang pangan, dan panggung politik kecil yang menyatukan keluarga besar dalam satu atap.

Uma Kelada dibagi jadi tiga bagian:

  • Bagian bawah: biasanya digunakan untuk ternak atau tempat simpan alat pertanian. Dalam kosmologi lokal, ini adalah dunia bawah (uraga), tempat roh-roh tak terlihat dan hewan peliharaan berada.

  • Bagian tengah: ruang hidup, dapur, tempat tidur. Di sinilah aktivitas harian terjadi, seperti memasak, menjahit, dan diskusi keluarga. Ini adalah dunia manusia (wawa).

  • Bagian atas: disebut lepo, ruang yang tidak boleh sembarangan diakses. Tempat menyimpan benda pusaka dan berkomunikasi dengan leluhur. Ini dianggap sebagai tempat paling suci.

Di satu rumah bisa tinggal lebih dari satu keluarga. Tapi semua ada aturannya. Anak perempuan, misalnya, biasanya tidak mewarisi rumah kecuali ia memilih tidak menikah dan merawat orang tua. Sementara laki-laki dianggap penanggung jawab dan penerus garis adat.

Desain atap tinggi bukan cuma estetika. Itu adalah simbol hubungan manusia dengan langit—semacam “antena spiritual” untuk tetap terhubung dengan dunia leluhur. Sekaligus cara alami untuk menangkal panas dan angin laut yang kencang.

Adat dan Pariwisata: Antara Peluang dan Ancaman untuk Ratenggaro

Pariwisata adalah pedang bermata dua. Dan Ratenggaro sedang berjalan di ujungnya. Di satu sisi, kedatangan turis membawa peluang ekonomi. Anak-anak muda mulai membuka warung kopi kecil, menjual kain tenun, atau jadi pemandu wisata. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kedatangan orang luar bisa mengganggu tatanan adat yang telah dijaga puluhan bahkan ratusan tahun.

Misalnya, beberapa turis yang tidak paham adat pernah masuk ke area pemakaman megalitik tanpa izin. Bagi masyarakat Ratenggaro, ini bukan sekadar ketidaksopanan, tapi pelanggaran sakral. Bukan tidak boleh masuk, tapi harus mengikuti aturan: pakai kain adat, izin pada kepala suku, dan menghormati area-area tertentu.

Saya bertanya pada Ana, perempuan muda asli Ratenggaro yang kini kuliah di Kupang dan sesekali pulang untuk bantu pemanduan. Katanya, “Kami senang dikunjungi. Tapi bukan untuk dijadikan objek. Kami bukan museum, kami masih hidup.”

Pemerintah daerah sudah mulai membuat peraturan agar keseimbangan ini terjaga. Ada rencana pembatasan jumlah pengunjung harian dan pelibatan warga lokal sebagai pengelola utama. Ini langkah baik, meski masih perlu pengawasan serius di lapangan.

Membawa Pulang Pelajaran dari Ratenggaro: Bukan Sekadar Cendera Mata, Tapi Cara Pandang

Mengunjungi Ratenggaro bukan cuma soal melihat rumah adat atau berfoto di pinggir pantai dengan batu nisan besar di belakang. Ini tentang belajar cara hidup yang berbeda. Masyarakat di sini hidup dengan tempo lambat, penuh ritual, dan percaya bahwa setiap tindakan punya konsekuensi spiritual.

Dalam dunia kita yang serba instan dan algoritmik, pelajaran ini jadi sangat relevan. Bahwa penting untuk berhenti sejenak, bertanya pada diri sendiri sebelum bertindak, dan menghargai proses, bukan cuma hasil. Bahwa rumah bukan cuma bangunan, tapi wadah nilai. Dan bahwa leluhur bukan cerita lampau, tapi bagian dari sistem hidup yang terus aktif menemani langkah kita.

Beberapa pengunjung bahkan bilang, Ratenggaro mengubah cara mereka memandang “kemajuan.” Bahwa jadi modern bukan berarti meninggalkan semuanya, tapi memilih apa yang tetap dibawa dan apa yang bisa dikompromikan.

Kalau kamu punya waktu ke Sumba, sisihkan satu hari untuk ke Ratenggaro. Tapi datanglah dengan hati terbuka. Bukan sebagai wisatawan yang datang untuk konsumsi visual, tapi sebagai tamu yang ingin belajar dari kehidupan yang berbeda—dan mungkin, lebih bermakna.

Penutup: Ratenggaro dan Ingatan yang Masih Bernapas


Adat Ratenggaro adalah contoh hidup dari peradaban megalitikum yang tidak punah, tapi justru beradaptasi tanpa kehilangan akarnya. Ia bukan hanya warisan budaya, tapi juga sumber nilai hidup yang bisa menginspirasi siapa pun yang bersedia mendengarkan.

Di era yang serba cepat dan digital, Ratenggaro mengajak kita untuk memperlambat langkah, menyentuh tanah, dan menengadah ke langit sambil bertanya: siapa kita, dan apa yang benar-benar penting?

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Travel

Baca Juga Artikel dari: Fort Belgica: Benteng Unik Peninggalan Sejarah Kolonial

Author

More From Author

Mount Aspiring dan Rob Roy Glacier: Eksplorasi Gletser yang Menakjubkan

Petualangan Tak Terlupakan di Mount Aspiring: Menaklukkan Permata Pegunungan Selandia Baru

Marina Bay Sands

Marina Bay Sands: Ikon Kemewahan dan Inovasi Singapura